Alkisah, suatu hari di tepian parit sebuah desa, tampak seekor cicak kecil berusaha berlari menghidari sergapan ular yang sedang kelaparan. Rimbunnya rumput di sekitar situ membantu cicak menyelamatkan diri, tetapi usaha si cicak tidak bertahan lama...
Hup, ekor cicak pun tertangkap sang ular. Dengan kekuatan seadanya, cicak berupaya dan terus berjuang untuk meloloskan diri dari ular itu. Demi menyelamatkan nyawanya, cicak menggunakan upaya terakhir dengan memutuskan ekornya dan segera melarikan diri dengan berlari sekuat tenaganya.
Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang petani. Karena merasa kasihan, berkatalah si petani kepada si cicak. "Hai cicak kecil, sungguh beruntung kamu bisa menyelamatkan diri dari santapan si ular. Namun sayang sekali ekormu harus terputus. Apakah kamu merasa sangat kesakitan?"
Dengan mata kecilnya, si cicak kecil menatap ke mata simpati si petani sambil menganggukkan kepalanya. Terlihat samar matanya berkaca-kaca.
Si petani tersentuh hatinya dan menawarkan bantuannya kepada cicak itu. "Kemarilah cicak, aku akan membantu membalut lukamu. Aku punya obat luka yang mujarab untuk menyembuhkan lukamu." Si petani lalu mengeluarkan sebungkus obat.
Kebaikan hari Pak Tani membalut lukaku, justru akan menghambat pertumbuhan ekor baruku. Terima kasih atas kebaikan hatimu. Aku sendiri sangat bersyukur atas rasa sakit ini. Itu menyadarkan kepadaku bahwa aku harus lebih menghargai kehidupan ini dengan berjuang dan mensyukuri setiap hari yang masih tersisa untukku. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pak Tani," si cicak merangkak menjauh sambil memikul rasa sakit yang sangat. Jauh di dalam hatinya, cicak tahu, semua penderitaan ini hanyalah sebuah proses pendewasaan yang harus dilalui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar